Pembaca, panggil saya
Adi. Entah kenapa aku tunarungu. Manusia yang sempurna, ternyata ada
sebagian yang cacat. Sejak bayi aku seorang yang normal, bisa mendengar
dan melihat. Tapi di usiaku yang ke dua tahun, aku mulai
sakit-sakitan hingga menjadi sakit panas. Suhu badanku mencapi 39°C.
Aku masih ingat tapi hanya samar-samar, waktu itu kepalaku terasa
amat pusing dan badanku sangat panas, serasa aku berada di atas lahar
yang membara. Aku terus menangis dan meronta, bahkan meraung-raung.
Aku tak mampu menahan tubuhku. Orang tuaku langsung membawaku ke
Dokter Spesialis Anak di Kotaku. Tapi semua terlambat. Aku sendiri
divonis tunarungu.
Telinga kananku normal
dan telinga kiriku tuli, tapi bisa mendengar bunyi meski samar-samar.
O ya, waktu aku sempat bersekolah di SD umum, di telinga kananku aku
bisa mendengar deru pesawat di ketinggian langit.
Pembaca, aku tidak tahu
kenapa ketajaman pendengaranku cenderung menurun. Seiring
bertambahnya batang usia, ketajaman pendengaran memang terus
menurun. Tapi aku tetap menerima kondisi ini.
O ya, waktu kelas satu,
aku sudah 2 kali tidak naik kelas di sekolah itu. Karena aku
kesulitan memahami dan mengerti apa yang disampaikan oleh guruku.
Sejak itu, aku dipindahkan ke SLB Don Bosco di kota kecil yang
dingin, di Jawa Tengah. Sekolahnya tidak jauh dari tempat tinggalku.
Aku sekolah di situ hingga tingkat kejuruan. Berkatnya, kini aku bisa
berucap, bernalar, dan melakukan apa saja. Aku sedikit bisa
berisyarat karena di sekolahku menggunakan metode bicara murni dan
MMR (Metode Maternal Refleksi).
Aku ingin mengucapkan
terima kasih kepada Guru-Guruku tanpa mereka aku takkan menjadi
seperti ini. O ya, Guruku memang keras dan berdisplin tinggi. Aku
tahu mereka mendidik supaya anak didiknya di kelas dapat bersikap
mandiri yang tinggi. Hal ini sudah terbukti, kakak kelasku hampir
sudah menjadi orang sukses semua. Bahkan sudah mampu hidup mandiri.
Kurang lebih 90% sukses kerja maupun sudah berkeluarga. Mereka
terlihat bangga dan puas terhadap kehidupan mereka. Tiap tahun
sebagian anak-anak SLB ini selalu masuk ke sekolah umum.
Pembaca, di sela-sela
waktu istirahat, aku selalu merenung. Iya, merenungkan tentang diriku
dan nasibku. Dengan bertumbuhnya batang usia aku makin menyadari
tentang diriku. Aku mulai menyadari dan mencari siapa jati diriku.
Siapakah aku? Apakah aku memang tunarungu? Bagaimana aku di masa
depan? Semua pertanyaan itu terus mengusik hati dan pikiranku.
Batinku terus meronta, menggugat kepada siapa saja, termasuk Sang
Pencipta.
Aku sering sekali
merenung. Selalu merenung dan tercenung bila tengah diiris galau
mengingat akan diriku. Seperti malam ini, duniaku terasa sunyi dan
sepi. Serasa tidak berteman dan tidak berkawan. Sepi itu mampu
membuat duniaku serasa senyap dan menakutkan. Betapa menakutkan dan
membosankan.
Sepi itu memaksaku untuk
mengingat semuanya. Tahun ini adalah tahun kedua-puluh dua aku hidup
dan kedua-puluh aku penyandang tunarungu. Bukan rentang tahun yang
pendek, aku tahu itu. Betapa dalam rentang waktu yang lama itu telah
begitu banyak duri dan onak yang menancap di tubuhku. Juga akan terus
membayangi dan membuntuti di sepanjang hayatku. Menyakitkan? Tentu
saja.
Entah kenapa, malam ini,
angan-angan dan pikiranku terus berputar di otakku. Ah…, tiba-tiba
merindui suara-suara musik yang merdu itu. Aku ingin seperti mereka
yang bisa mendengar segala suara. Suara yang selalu mewarnai
hidupnya.
Aku sadar, itu bukan
segalanya. Yang aku inginkan sekarang, aku hidup sebagai manusia. Aku
yakin, aku bisa mengerti arti kehidupan, arti seorang tunarungu.
Apapun seburuk kondisiku, apapun sepahit-pahitnya hidupku, itu semua
tak akan bisa melunturkan semangat dan rasa syukurku. Semua
menyakitkan, itulah diriku. Meskipun menyakitkan tapi aku merasakan
ada sepercik api kehidupan. Anehnya, kini nampak begitu menyenangkan.
Mungkin benar kata mereka, “Kehidupan seseorang akan menghargai
hidupnya, kehidupan seseorang akan membuatnya bisa melihat dunia”.
Aku mulai mengerti hidupku dan bisa menikmati hidupku meski punya
kekurangan. Kekurangan bukan berarti kurang. Kekurangan adalah kelebihan.
Sudah waktunya
meninggalkan sosok yang lama. Aku akan memakai kacamata yang bening.
Dengan kacamata itu, aku bisa melihat dunia. Aku akan bersikap
realistis. Semua tidak perlu diratapi. Kuyakin diriku bisa mencapai
kesuksesan dan bisa hidup mandiri seperti sekarang ini.
Aku terus bertekad,
berjuang dalam hidupku. Tak akan lekang oleh apapun. “Bukanah
kehidupan yang kita alami akan memberi pelajaran berharga untuk
kita?” Aku ingin menuju hidup baru, dan tidak akan berpaling.
Sekarang aku sudah
menemukan kehidupan yang luar biasa. Aku bisa berbicara, bisa
berkomunikasi bahkan bisa bernyanyi. Seakan ada di dunia nyata yang
benar-benar nyata tanpa keterbatasanku ini. Aku menemukan jati
diriku. Ikhlaskan saja semua kekurangan diriku. Aku menjadi manusia
yang kuat menderita... aku tidak cengeng akan kekurangan hidup yang
menghantamku. Tak usah disesali hanya karena tunarungu.
Hidup mengajarkanku untuk
berjuang. Berjuang, berjuang dan berjuang. Seperti serdadu-serdadu
yang berlari-lari di tengah terik matahari yang menggila, merayap di
semak berduri, berenang dengan membawa ransel di pundak dan
menggenggam senjata di tangannya. Iya, semua untuk berperang melawan
kebodohan, kemiskinan, kebisuan dan semua kekuranganku. Aku harus
mengalahkan dunia dan kekuranganku. Aku tidak tahu berhasil atau
tidak. Tapi yang pasti, aku terus berjuang sampai akhir hayatku.
Tanpa sadar butiran air
mataku telah menetes dengan sendirinya saat aku menulis ini, untuk
bercurhat panjang dan mewakili rasa berterima kasihku yang teramat
dalam atas kasih sayang, kerja keras, dan pengorbanan yang Papa dan
Ibu berikan demi hidupku. Tanpa dorongan dan kasih sayang dari Ibu
dan Papa, aku akan rapuh dan putus asa atas statusku. Aku
berterimakasih juga kepada mantan guru-guruku dan guru seniorku,
tanpa bimbingan dari mereka, mungkin aku tidak akan hidup seperti
ini.
Aku harus menjalani
hidupku dengan penuh ‘keihklasan’. Ikhlas untuk menerima semua
cobaan ini. Aku akan selalu berdoa kepada Tuhan dan berharap kepada
Tuhan akan memberikan jalan hidup yang terbaik buatku. Aku yakin,
Tuhan pasti mendengar dan mengabulkan doa yang aku panjatkan. Aku
percaya, Tuhan tidak mungkin memberi percobaan yang lebih kepada
umat-Nya. Dia sayang kepada semua umat-Nya.
Pembaca, sudah cukup
sampai hari ini. Kini aku cukup bahagia. Aku sadar, hidup tak sebatas
ini dan itu. Tak sekadar begini-begitu. Hidup amat luas. Seluas saat
mata memandang cakrawala di kala senja. Seluas gurun sahara. Aku
bersyukur karena aku bisa menjadi seperti mereka. Aku bisa melakukan
segala hal. Aku tidak ingin berburuk sangka. Aku akan membuka
lembaran sejarah baru yang lebih berwarna. Aku akan berjalan di atas
yang aku sukai tanpa keluh kesah lagi. Karena kebahagiaan yang nomor
satu!!!
Terima kasih semua,
Gregorius Adi Purwoko di
Wonosobo.
0 komentar:
Posting Komentar