Kamis, 14 Januari 2010

PENCARIAN JATI DIRI


Sebagai seorang tunarungu, keadaanku ini terkadang membuatku menjadi sosok yang asing bagi dunia. Status tunarungu itu, menghantarkanku pada kesadaran baru terhadap dunia. Hidup harus diperjuangkan. Bukan sekadar angan-angan.
Pembaca, panggil saya Adi. Entah kenapa aku tunarungu. Manusia yang sempurna, ternyata ada sebagian yang cacat. Sejak bayi aku seorang yang normal, bisa mendengar dan melihat. Tapi di usiaku yang ke dua tahun, aku mulai sakit-sakitan hingga menjadi sakit panas. Suhu badanku mencapi 39°C. Aku masih ingat tapi hanya samar-samar, waktu itu kepalaku terasa amat pusing dan badanku sangat panas, serasa aku berada di atas lahar yang membara. Aku terus menangis dan meronta, bahkan meraung-raung. Aku tak mampu menahan tubuhku. Orang tuaku langsung membawaku ke Dokter Spesialis Anak di Kotaku. Tapi semua terlambat. Aku sendiri divonis tunarungu.
Telinga kananku normal dan telinga kiriku tuli, tapi bisa mendengar bunyi meski samar-samar. O ya, waktu aku sempat bersekolah di SD umum, di telinga kananku aku bisa mendengar deru pesawat di ketinggian langit.
Pembaca, aku tidak tahu kenapa ketajaman pendengaranku cenderung menurun. Seiring bertambahnya batang usia, ketajaman pendengaran memang terus menurun. Tapi aku tetap menerima kondisi ini.
O ya, waktu kelas satu, aku sudah 2 kali tidak naik kelas di sekolah itu. Karena aku kesulitan memahami dan mengerti apa yang disampaikan oleh guruku. Sejak itu, aku dipindahkan ke SLB Don Bosco di kota kecil yang dingin, di Jawa Tengah. Sekolahnya tidak jauh dari tempat tinggalku. Aku sekolah di situ hingga tingkat kejuruan. Berkatnya, kini aku bisa berucap, bernalar, dan melakukan apa saja. Aku sedikit bisa berisyarat karena di sekolahku menggunakan metode bicara murni dan MMR (Metode Maternal Refleksi).
Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Guru-Guruku tanpa mereka aku takkan menjadi seperti ini. O ya, Guruku memang keras dan berdisplin tinggi. Aku tahu mereka mendidik supaya anak didiknya di kelas dapat bersikap mandiri yang tinggi. Hal ini sudah terbukti, kakak kelasku hampir sudah menjadi orang sukses semua. Bahkan sudah mampu hidup mandiri. Kurang lebih 90% sukses kerja maupun sudah berkeluarga. Mereka terlihat bangga dan puas terhadap kehidupan mereka. Tiap tahun sebagian anak-anak SLB ini selalu masuk ke sekolah umum.
Pembaca, di sela-sela waktu istirahat, aku selalu merenung. Iya, merenungkan tentang diriku dan nasibku. Dengan bertumbuhnya batang usia aku makin menyadari tentang diriku. Aku mulai menyadari dan mencari siapa jati diriku. Siapakah aku? Apakah aku memang tunarungu? Bagaimana aku di masa depan? Semua pertanyaan itu terus mengusik hati dan pikiranku. Batinku terus meronta, menggugat kepada siapa saja, termasuk Sang Pencipta.
Aku sering sekali merenung. Selalu merenung dan tercenung bila tengah diiris galau mengingat akan diriku. Seperti malam ini, duniaku terasa sunyi dan sepi. Serasa tidak berteman dan tidak berkawan. Sepi itu mampu membuat duniaku serasa senyap dan menakutkan. Betapa menakutkan dan membosankan.
Sepi itu memaksaku untuk mengingat semuanya. Tahun ini adalah tahun kedua-puluh dua aku hidup dan kedua-puluh aku penyandang tunarungu. Bukan rentang tahun yang pendek, aku tahu itu. Betapa dalam rentang waktu yang lama itu telah begitu banyak duri dan onak yang menancap di tubuhku. Juga akan terus membayangi dan membuntuti di sepanjang hayatku. Menyakitkan? Tentu saja.
Entah kenapa, malam ini, angan-angan dan pikiranku terus berputar di otakku. Ah…, tiba-tiba merindui suara-suara musik yang merdu itu. Aku ingin seperti mereka yang bisa mendengar segala suara. Suara yang selalu mewarnai hidupnya.
Aku sadar, itu bukan segalanya. Yang aku inginkan sekarang, aku hidup sebagai manusia. Aku yakin, aku bisa mengerti arti kehidupan, arti seorang tunarungu. Apapun seburuk kondisiku, apapun sepahit-pahitnya hidupku, itu semua tak akan bisa melunturkan semangat dan rasa syukurku. Semua menyakitkan, itulah diriku. Meskipun menyakitkan tapi aku merasakan ada sepercik api kehidupan. Anehnya, kini nampak begitu menyenangkan. Mungkin benar kata mereka, “Kehidupan seseorang akan menghargai hidupnya, kehidupan seseorang akan membuatnya bisa melihat dunia”. Aku mulai mengerti hidupku dan bisa menikmati hidupku meski punya kekurangan. Kekurangan bukan berarti kurang. Kekurangan adalah kelebihan.
Sudah waktunya meninggalkan sosok yang lama. Aku akan memakai kacamata yang bening. Dengan kacamata itu, aku bisa melihat dunia. Aku akan bersikap realistis. Semua tidak perlu diratapi. Kuyakin diriku bisa mencapai kesuksesan dan bisa hidup mandiri seperti sekarang ini.
Aku terus bertekad, berjuang dalam hidupku. Tak akan lekang oleh apapun. “Bukanah kehidupan yang kita alami akan memberi pelajaran berharga untuk kita?” Aku ingin menuju hidup baru, dan tidak akan berpaling.
Sekarang aku sudah menemukan kehidupan yang luar biasa. Aku bisa berbicara, bisa berkomunikasi bahkan bisa bernyanyi. Seakan ada di dunia nyata yang benar-benar nyata tanpa keterbatasanku ini. Aku menemukan jati diriku. Ikhlaskan saja semua kekurangan diriku. Aku menjadi manusia yang kuat menderita... aku tidak cengeng akan kekurangan hidup yang menghantamku. Tak usah disesali hanya karena tunarungu.
Hidup mengajarkanku untuk berjuang. Berjuang, berjuang dan berjuang. Seperti serdadu-serdadu yang berlari-lari di tengah terik matahari yang menggila, merayap di semak berduri, berenang dengan membawa ransel di pundak dan menggenggam senjata di tangannya. Iya, semua untuk berperang melawan kebodohan, kemiskinan, kebisuan dan semua kekuranganku. Aku harus mengalahkan dunia dan kekuranganku. Aku tidak tahu berhasil atau tidak. Tapi yang pasti, aku terus berjuang sampai akhir hayatku.
Tanpa sadar butiran air mataku telah menetes dengan sendirinya saat aku menulis ini, untuk bercurhat panjang dan mewakili rasa berterima kasihku yang teramat dalam atas kasih sayang, kerja keras, dan pengorbanan yang Papa dan Ibu berikan demi hidupku. Tanpa dorongan dan kasih sayang dari Ibu dan Papa, aku akan rapuh dan putus asa atas statusku. Aku berterimakasih juga kepada mantan guru-guruku dan guru seniorku, tanpa bimbingan dari mereka, mungkin aku tidak akan hidup seperti ini.
Aku harus menjalani hidupku dengan penuh ‘keihklasan’. Ikhlas untuk menerima semua cobaan ini. Aku akan selalu berdoa kepada Tuhan dan berharap kepada Tuhan akan memberikan jalan hidup yang terbaik buatku. Aku yakin, Tuhan pasti mendengar dan mengabulkan doa yang aku panjatkan. Aku percaya, Tuhan tidak mungkin memberi percobaan yang lebih kepada umat-Nya. Dia sayang kepada semua umat-Nya.
Pembaca, sudah cukup sampai hari ini. Kini aku cukup bahagia. Aku sadar, hidup tak sebatas ini dan itu. Tak sekadar begini-begitu. Hidup amat luas. Seluas saat mata memandang cakrawala di kala senja. Seluas gurun sahara. Aku bersyukur karena aku bisa menjadi seperti mereka. Aku bisa melakukan segala hal. Aku tidak ingin berburuk sangka. Aku akan membuka lembaran sejarah baru yang lebih berwarna. Aku akan berjalan di atas yang aku sukai tanpa keluh kesah lagi. Karena kebahagiaan yang nomor satu!!!
Terima kasih semua,
Gregorius Adi Purwoko di Wonosobo.

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons