Bila kita menengok ke latar belakang tunarungu sekilas, maka terlihat bagaimana kondisi tunarungu di Indonesia di masa lalu sebelum kemerdekaan (zaman penjajahan) hingga zaman revolusi. Pada zaman itu, sebagian besar para tunarungu “bersembunyi” dan “disembunyikan”. Alasan-alasan dari kedua faktor tersebut antara lain:
1.Faktor bersembunyi dikarenakan:
- Perasaan takut, minder dan malu.
- Perasaan tidak diperhatikan atau diremehkan oleh keluarga.
- Tidak mampu bersosialisasi dengan masyarakat.
- Tidak berani bergaul karena gangguan bicaranya.
- Tidak diberi kesempatan pendidikan formal.
2.Faktor disembunyikan karena:
- Malu mempunyai anak atau saudara yang cacat.
- Tidak mendapat perhatian dan pengertian tentang permasalahan tunarungu.
- Kurang informasi tentang adanya pendidikan SLB.
- Keberadaan anak tunarungu belum diterima dengan baik.
Sebelum Indonesia merdeka, untunglah sudah ada sekolah SLB khusus anak-anak tunarungu di Indonesia, yaitu di Bandung (1936) dan di Wonosobo (1938), sampai sekarang masih tetap esksis dan bertahan. SLB tersebut dikelola oleh swasta dan bertujuan untuk murid dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dengan baik agar kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat umum, mendidik murid berkarya agar kelak dapat mandiri dan tidak bergantung pada orang tua maupun orang lain, mendidik murid agar murid mau dan dapat bersosialisasi sehingga murid itu tidak menyendiri. Kini di Indonesia sudah berdiri ratusan SLB swasta maupun negeri. Di tiap kabupaten di Jawa selalu ditemukan ada SLB-SLB.
Jika kita bayangkan apa yang terjadi bila kaum tunarungu bangsa Indonesia tidak terdidik dengan benar? Akankah mereka menjadi beban terhadap Negara kita? Siapa yang mau peduli terhadap mereka yang bermasalah? Kekurang sadaran dan ketidak pedulian pemerintah dan masyarakat terhadap tunarungu akan mangakibatkan mereka menjadi terlantar, dan terabaikan. Mereka akan menjadi sampah masyarakat.
Sehubungan dengan kondisi yang memprihatinkan, maka timbul pikiran serta bertanya dalam hati: “Bagaimana jika Negara Indonesia yang ber-Pancasila mau maju atau makmur jika peran kaum tunarungu tidak turut berperan dalam membangun Indonesia?” Pertanyaan itu mulai mengusik saya ketika saya duduk di kelas 1 SMP pada tahun 1974. Aku mulai mengamati, melihat dan mempelajari ilmu pengetahuan, serta sejarah Indonesia, terbukalah mataku dan aku mulai sadar. Saya terus menerawang dan memikirkan nasib anak-anak tunarungu di Indonesia.
Sejak itu, saya semakin prihatin dan terus memikirkan teman-teman senasib saya yang kurang beruntung. Pikiran mengenai nasib anak tunarungu mengusik hatiku. Berkat dorongan ayah dan ibuku yang terus memikirkan saya di masa depan, hatiku tergerak untuk membantu mereka.
Atas rahmat Tuhan YME, terbangkitlah jiwa saya untuk bergerak dan terjun ke masyarakat dengan “merotasi” teman-teman senasib di Yogyakarta melalui wadah perkumpulan yang bernama PERTRY (Persatuan Tuna Rungu Yogyakarta) pada tahun 1974, yang beranggotakan 15 orang orang tunarungu. Seiring waktu terus bergulir, anggotanya terus bertambah hingga mendirikan organisasi yang berbadan hukum yang baru dengan nama PERTRI (Perhimpunan Tunarungu Indonesia), tepatnya tahun 1980 atas instruksi Bapak Kepala Dinas Sosial Propinsi DIY.
Berdasarkan hasil kongres Nasional 1 di Jakarta, 1981, diputuskan satu wadah dan satu nama yaitu Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia). Dari kongres itu, saya terpilih sebagai ketua 1 Gerkatin Pusat, disamping merangkap ketua Gerkatin cabang DIY periode 1981-1984. Seluruh pengurus Gerkatin, 100% diurus oleh tunarungu sendiri.
Selama masih sekolah umum maupun kuliah, saya tetap aktif melayani organisasi Gerkatin di Yogyakarta. Saya berusaha mendorong teman-teman yang sedang bersekolah umum maupun sedang kuliah untuk memperhatikan teman anggota Gerkatin yang perlu mendapat bimbingan. Bukan yang kuat mengalahkan yang lemah tetapi yang kuat harus menanggung yang lemah. Prinsip saya, "Yang beruntung harus mau rela membantu yang kurang beruntung”. Keaktifan saya sangat didukung oleh orang tua saya. Banyak pengalaman yang menimpa saya justru mendorong saya untuk memotivasi teman-teman dalam memperjuangkan kesejahteraan tunarungu Indonesia. Saya juga terus aktif memajukan paguyuban ADECO (Alumni Dena Upakara dan Don Bosco) di Yogyakarta.
Berdasarkan pengalaman di atas, saya berpendapat bahwa dunia tunarungu di Indonesia masih jauh ketinggalan, dikarenakan faktor miskin informasi, keterbatasan ruang gerak, sulit dipahami, masalah yang ruwett dan masih dianggap tidak bisa apa-apa. Aksesibilitas dan kesamaan hak masih perlu diperjuangkan karena para tunarungu di Indonesia ingin sekali dapat berkarya sebagai sumbangan bagi negeri Indonesia yang tercinta. Mari kita berjuang bersama-sama.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Bu Dita Rukmini S. Hadinata.
0 komentar:
Posting Komentar